DASAR SAMPAH !!! ???

Monday, May 29, 2006

Belajar-lah!!!

Belajar dari Masalah Sampah
Kamis, 25 November 2004 14:22 WIB
Kerusuhan di Bojong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat Senin (22/11/2004) lalu bukanlah yang pertama kali. Penolakan masyarakat terhadap proyek swasta yang didukung pemerintah seringkali terjadi. Apalagi terhadap proyek yang mengganggu kehidupan masyarakat sekitarnya. Mungkin reaksi warga masyarakat yang begitu hebat, baru pertama kali saat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memerintah.Tanda-tanda masyarakat tak setuju pada proyek pembuangan sampah (tempat pembuangan Sampah terpadu-TPST), sudah tampak sejak awal lokasi proyek direncanakan. Namun, suara masyarakat kecil tak pernah didengarkan. Bahkan yang terjadi ditimbulkan konflik horizontal warga setempat yang setuju dan tidak proyek pembuangan sampah itu.
Kebanyakan warga yang tak setuju tempatnya dijadikan tempat pembuangan sampah orang-orang Jakarta, karena berharap daerahnya dijadikan daerah pemukiman, bukan tempat pembuangan sampah.
Sampah, memang kedengarannya tak enak. Bukan hanya tak enak dilihat, tapi tak enak juga terhadap indra penciuman. Belum lagi akibat negatif terhadap kesehatan yang ditimbulkan akibat limbahnya. Namun, sampah adalah kenyataan, itu adalah sisa-sisa milik kita, yang kita buang dan dianggap tak berguna.
Sampah warga Jakarta mulai dari Istana Negara sampai pemukiman kumuh mencapai 25.600 m3 (setara dengan 6.000 ton) perharinya. Namun, bagi pihak lain sampah yang begitu banyak bisa berguna. Bagi pemulung, perajin dan pengolah barang-barang bekas (recycle) sampah bisa menguntungkan.Bagi pemilik proyek pembersihan pengangkutan dan tempat pembuangan sampah juga menguntungkan. Tak heran jika perusahaan pengelola TPST Bojong berani menanamkan investasi yang begitu besar puluhan miliar rupiah untuk pengelolaan sampah terpadu. Bahkan para pejabat pemerintah, harus berkunjung ke luar negeri untuk studi banding soal pembuangan sampah.
Sebenarnya, kita bisa belajar dari penolakan warga Bekasi terhadap tempat pembuangan sampah di Bantar Gebang Bekasi atau Cilincing Jakarta Utara. Tempat Pengolahan Sampah Terpadu di Bojong, Bogor dinilai arsitektur dan insinyur lingkungan Badan Pengkajian dan Pengembangan Tekhnologi (BPPT) Dipl. Ing. Ir. H.B Henky Sutanto adalah sebuah kesia-siaan. Proses memusnahkan sampah, 80 persen melalui tungku pembakaran incenerator dinilai hanya akan membuang-buang uang. Karena harga incinerator yang sangat mahal, selain berbahaya. Banyak cara mengelola sampah, tanpa mengganggu lingkungan sekitar atau warga daerah lain. Menurut Henky, sebenarnya, ada cara murah dan mudah untuk mengatasi persoalan sampah di Jakarta. Yaitu dengan merehabilitasi TPA Bantar Gebang dan kemudian menerapkan sistem Reusable Sanitary Landfill (RSL) yaitu sebuah sistem pengolahan sampah yang berkesinambungan dengan menggunakan metode Supply Ruang Penampungan Sampah Padat. RSL diyakini Henky bisa mengontrol emisi liquid, atau air rembesan sampai sehingga tidak mencemari air tanah.
Jika, TPA Bantar Gebang direhabilitasi kemudian pola pengolahannya digantikan dengan RSL, pemerintah daerah Jakarta, menurut Henky tidak perlu mencari lokasi baru untuk menampung sampah. Karena sampah dapat diolah secara berkesinambungan dan sistem di ground liner bisa diperbaiki secara berkala.
Atau cara lain yang lebih sederhana, dimana sampah dikelola langsung oleh masyarakat sekitar, yang memiliki sampah itu. Misalnya per-Rukun Warga (RW) atau Kelurahan. Kenapa pemerintah DKI Jakarta justru memburu proyek-proyek sampah bernilai miliaran rupiah, bukan memotivasi masyarakat dan memberi insentif pada masyarakat untuk mengelola sampahnya sendiri. Beberapa contoh pengelolaan sampah sudah dibuat di kawasan pemukiman Pondok Indah dan Cilandak. Hal yang sama juga bisa dilakukan terhadap industri atau bisnis lainnya yang menghasilkan sampah. Ahmad Taufik, Fitrio

0 Comments:

Post a Comment

<< Home